Thursday, January 7, 2016

"GOOD BYE, MISS J!" - by: Jelia Megawati Heru (Staccato, January 2016)

"GOOD BYE, MISS J!"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, January 2016


Tahukah Anda, 
70 persen dari murid yang belajar piano akan berhenti 
dari pelajaran piano nya dalam 1-2 tahun? 

Hal ini rawan terjadi di kalangan murid pemula yang berumur 6-8 tahun. Prosentase ini menjadi semakin tinggi pada murid piano dalam tahun pembelajaran ke-3 nya dan pada kasus murid yang usianya masih terlalu muda. Karena pada tahun ke-3, pelajaran piano menjadi lebih sulit daripada 2 tahun pertamanya. Ketika pelajaran menjadi sulit, umumnya mereka akan memilih untuk menyerah dan berhenti.

Sebagai guru musik, suka atau tidak, kita harus menerima kenyataan, bahwa murid tidak akan bertahan selamanya. Bagaimanapun cocoknya dan sayangnya Anda terhadap murid Anda, suatu saat mereka akan meninggalkan Anda.

“Even a doctor loses a patient now and again. 
You couldn’t save everybody. That’s life!”

Setiap murid mempunyai masa kritisnya sendiri, dimana mereka berada dalam titik jenuh dan ingin berhenti. Terkadang kita bisa melihat tanda-tandanya, tapi terkadang hal ini juga tidak dapat diprediksi. Banyak alasan mengapa murid berhenti dari pelajaran musiknya. Namun pertanyaannya adalah bukan apa alasan murid berhenti, tapi bagaimana suatu hubungan guru-murid itu diakhiri? Secara sepihak, baik-baik, atau tiba-tiba menghilang ditelan angin? Sedih, kecewa, marah? Sudah pasti! Tapi bagaimana kita harus menyikapinya? Lalu apa efek penghentian pelajaran musik bagi murid?


ALASAN MURID BERHENTI 

1. Umur terlalu muda
Banyak orang tua yang berpikir semakin muda umur anak dalam memulai pelajaran instrumen musiknya, semakin baik pula efek dan semakin besar manfaatnya terhadap perkembangan anak. Hmm… Opini ini tidak sepenuhnya benar. Pelajaran instrumen musik akan menjadi optimal, ketika anak berada dalam kondisi belajar yang ideal. Paling tidak anak sudah bisa membaca, menulis, berkonsentrasi, mampu menerima instruksi, dan bisa dituntut untuk berlatih.

Coba pikirkan, apakah anak umur 3 tahun mempunyai kesadaran untuk berlatih rutin setiap hari? Apakah anak umur 3 tahun bisa memahami konsep musikal dan berkonsentrasi selama 30 menit? Lantas ketika anak menjadi bosan dengan pelajaran instrumen musik nya, apakah berarti dia bisa mulai menangis dan berhenti kapan saja?

Orang tua dan anak harus bisa menerima kenyataan, bahwa belajar musik bukan hanya “fun” saja, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang untuk disiplin dalam latihan dan perlunya kerja keras (termasuk mengerjakan PR!). Apakah murid bisa lulus ujian dan naik kelas tanpa mengerjakan PR apapun? Tentu TIDAK! Demikian halnya juga dengan belajar piano.


Bedanya apa sih les piano dengan sekolah umum? 
Bedanya anak umur 8 tahun tidak bisa tiba-tiba berhenti dari sekolah umum begitu saja karena dia malas mengerjakan PR dan tidak suka ulangan. Tapi ironisnya di pelajaran piano bisa! Lho, kok bisa?! Belajar piano kerap kali dianggap sepele dan disamakan dengan les menggambar, renang, dan les pelajaran. "Ah, piano itu hanya hobi saja, lumayan buat ngisi waktu luangnya si buyung daripada bengong atau main game melulu!" Belum cukup sampai disana, banyak orang tua juga sering memperlakukan sekolah musik ibarat tempat penitipan anak dan guru musik seperti baby sitter. 

Ketika anaknya “bukan Mozart wanna be” atau malas latihan, orang tua bisa langsung mengambil jalan pintas “berhenti, g’rak!” Hanya karena musik ngga penting-penting amat! Banyak orang lupa, bahwa tugas MENDISIPLINKAN ANAK adalah bukan tugas guru piano, melainkan ORANG TUA! Lalu gimana ceritanya kalau sudah beli piano mahal-mahal? Ah, jual aja lagi atau bisa jadi dekor buat naikkin gengsi, bro! (*tepok jidat)

2. Finansial - Keterbatasan ekonomi: resesi, orang tua kehilangan pekerjaan, orang tua mempunyai anak yang banyak, prioritas kebutuhan primer

3. Sibuk dan tidak ada waktu: terlalu banyak les/kegiatan di luar sekolah

4. Bosan dan tidak ada minat/motivasi
Murid yang tidak punya keinginan belajar, tidak bersedia berlatih, dipaksa oleh orang tua (orang tua yang ambisius) mungkin merupakan salah satu tantangan terbesar seorang guru musik. Guru musik hanya bisa mendorong (encourage) murid nya. Ketika murid tetap tidak memiliki motivasi atau keinginan belajar sama sekali, tidak ada seorang pun di dunia yang bisa memaksa murid untuk tetap meneruskan pelajaran musiknya. Walau guru musik itu bergelar profesor musik sekalipun.

5. Pindah rumah, guru/sekolah musik

6. Tidak ada kemajuan: merasa tidak berbakat, tidak lulus ujian

7. Alasan lain: tidak ada dukungan dari orang tua, tidak punya piano, stigma belajar musik hanya hobi, buang-buang uang, mahal, atau tidak setuju/tidak puas dengan peraturan sekolah musik.


TIPS PENGHENTIAN PELAJARAN MUSIK

1. BE PROFESSIONAL! 
Mulailah dengan baik, akhiri dengan baik pula. Sedapat mungkin hindari konflik dan drama berkepanjangan. Jangan terlalu cepat emosi dan mencari kambing hitam. Sikapilah hal ini dengan kepala dingin. Lakukanlah penghentian pelajaran musik sesuai dengan PROSEDUR yang telah disepakati.

Misalnya: tetap membayar uang les selama satu bulan penuh, walau anak hanya masuk ke kelas selama 3 kali pertemuan. Hal ini berlaku bagi pelajaran musik secara privat, maupun di sekolah musik. Karena setiap sekolah musik mempunyai aturan main yang berlaku. Prosedur penghentian pelajaran musik ini hanya bisa terlaksana, apabila dari pihak murid maupun guru memberikan PEMBERITAHUAN satu (1) bulan sebelumnya. Ironisnya di Indonesia hal ini sangat sulit dilakukan, karena musik masih dianggap sebagai sebuah kursus keterampilan untuk bersenang-senang. Sehingga orang bisa seenaknya menyatakan berhenti dimana saja dan kapan saja.


Tentunya guru harus melewati jalur FORMAL dengan menulis SURAT RESIGN kepada pimpinan sekolah musik ybs., karena sifatnya lebih kepada hubungan kerja. Sedangkan untuk murid, ada baiknya orang tua menulis surat permohonan kepada pihak sekolah musik atau ada formalitas secara LISAN (NON-FORMAL) berupa DIALOG dengan pihak sekolah sebagai itikad baik orang tua terhadap sekolah musik tsb. Murid/orang tua dan guru yang mempunyai etika, biasanya akan berpamitan pada pelajaran musik terakhirnya.


Sayangnya hidup tidak selalu berjalan mulus. Problem mulai bermunculan, ketika salah satu pihak merusak kesepakatan secara sepihak. Misalnya: orang tua memutuskan secara mendadak bahwa anaknya akan berhenti les, setelah anak masuk satu kali ke kelas pada awal bulan dan tidak ingin membayar penuh dengan berbagai alasan. Atau ketika anaknya tidak masuk karena ada ujian di sekolah, orang tua meminta sekolah musik untuk melakukan penggantian. Sedangkan penggantian hanya bisa dilakukan, apabila anak atau guru musik sakit misalnya. Atau bahkan yang paling parah tidak masuk ke kelas lagi tanpa pemberitahuan apapun, dihubungi pun tidak bisa (last-minute quitter). Ketika hal-hal demikan terjadi, just move on!


2. KOMUNIKASI TRANSPARAN
Terkadang kasus murid berhenti merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Itu merupakan risiko dalam profesi yang digeluti oleh para guru musik. Apabila murid berhenti karena alasan pindah rumah dan ekonomi (natural cause), tentunya tidak ada hal yang bisa dilakukan. Namun ketika hal-hal lain mengancam penghentian sebuah kelas musik, maka sudah saatnya dilakukan dialog. Tentunya untuk kota besar seperti Jakarta, hal ini tidak mudah dilakukan – mengingatnya padatnya jam kerja, macet, dan jarak yang harus ditempuh. Tetapi itulah harga yang harus dibayar. Setidaknya kita sudah melakukan upaya persuasif dengan dialog, yang mana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan musik itu sendiri.

3. HINDARI KONFLIK & MENJALIN HUBUNGAN YANG BAIK
Sedapat mungkin hindari konflik dan drama berkepanjangan. Apabila situasi memanas, sikapilah dengan bijaksana dan kepala dingin. Jangan lekas terpancing dan emosi, apalagi mencari kambing hitam. Apabila Anda mengalami kesulitan dalam berdialog, carilah mediator yang netral, seseorang dari pihak sekolah yang bisa dipercaya. Apabila setelah berdialog, orang tua tetap menghendaki anaknya berhenti belajar, relakan saja, dan tidak usah terlalu diambil hati. Setidaknya dari pihak guru atau sekolah telah mengusahakan yang terbaik. Setelah penghentian kelas musik dengan guru tsb, apabila memungkinkan usahakan tetap menjalin tali silahturahmi yang baik. Hidup tidak hanya ada di dalam ruang kelas saja, bukan?

4. MENGAMBIL HIKMAHNYA
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Ketika suatu proses pembelajaran tidak berjalan sebagaimana mestinya, ada baiknya semua pihak mengintrospeksi diri – baik itu murid, orang tua, dan juga guru. Di dalam kelas bukan hanya murid yang belajar, tetapi guru pun juga belajar. Seorang guru yang baik tidak terjadi dalam satu malam saja, semuanya membutuhkan proses belajar dan harus tahan uji. Oleh karena itu ada baiknya seorang guru senantiasa meng-upgrade kemampuannya dalam mengajar – dengan membaca, mengikuti masterclass, seminar, atau pelatihan, dan juga semakin mawas diri.




THE MISSING LINK
Tentunya kasus murid berhenti bukan perkara yang bisa dianggap enteng. Namun hal ini juga bukan merupakan tanggung jawab guru sepenuhnya. Jadi jangan berkecil hati dan lantas berpikiran negatif, bahwa kesalahan ada pada Anda sebagai guru musik yang tidak kompeten – terutama apabila pada akhirnya Anda mengetahui, bahwa murid belajar pada guru yang lain. Good bye, ego! Terkadang the missing link terletak pada murid itu sendiri, dimana ia tidak mempunyai keinginan untuk belajar sama sekali dan tidak mempunyai daya juang untuk berlatih (personal issue). Sementara orang tua juga sibuk, tidak sempat memperhatikan anak, dan gagal dalam mendisiplinkan anaknya. Faktornya banyak.

Yang bisa kita lakukan sebagai guru musik adalah mendorong anak dan mendidiknya semampu kita, selama anak itu menjadi murid kita. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Unsatisfied customer dan bad people pasti akan selalu ada. Don’t let them bring you down! Jadi kepala sekolah musik tidak bisa serta-merta menyalahkan guru musik atas berhentinya seorang siswa. It’s not that simple! Meskipun bagi pemilik sekolah musik, berhentinya seorang siswa merupakan bencana alam! (bukan membela guru musik, lho!) Guru musik juga manusia dan tidak selamanya pelanggan adalah raja.


EFEK PENGHENTIAN PELAJARAN MUSIK
Banyak orang tua yang tidak mengerti, bahwa berhenti les musik itu efeknya sangat besar bagi anak. Belajar musik itu berbeda dengan les matematika dan pelajaran sekolah. Umumnya murid yang berhenti di tengah jalan akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan kembali, bahkan seumur hidupnya mungkin tidak akan bermain musik lagi.


Faktornya banyak, mulai dari tuntutan pelajaran sekolah yang tinggi menjelang kelulusan SLTA, padatnya jadwal anak, dan motivasi/minat ketika anak beranjak dewasa berubah. Belum lagi murid akan kembali ke titik minus, bahkan lebih parah dari sebelum ia belajar musik – otot motorik yang tidak terkoordinasi, lupa cara membaca notasi balok, dll. Pokoknya ibaratnya lebih impossible daripada Mission Impossible 5 deh! Latihan bertahun-tahun yang pernah dijalani selama ini akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu pelajaran musik anak hendaknya selalu berkesinambungan dan menjadi bagian dari kehidupan anak yang tidak terpisahkan.

Orang tua dan guru hendaklah menjadi partner sekerja demi perkembangan yang positif untuk anak (komunikasi orang tua – guru – murid). Supaya setidaknya dengan cara persuasif, anak bisa melalui masa kritisnya dan tetap bermain musik. Supaya ada alternatif solusi lain yang bisa ditempuh, tanpa melewati jalur berhenti secara permanen. Misalnya mempelajari genre Musik Pop/Jazz dan belajar instrumen musik baru. Supaya tidak timbul penyesalan di kemudian hari.

“If you cherish the time with your student,
they will do as well and will hold onto those fond memories for a long, long time.
Remember that!”