Saturday, December 5, 2015

RAISING MUSIC PRODIGY - by: Jelia Megawati Heru (Staccato, December 2015)

"RAISING MUSIC PRODIGY"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, December 2015


PRODIGY ATAU BERBAKAT?
Terminologi “prodigy” sebetulnya sangat subjektif dan sering disalahartikan. Pasalnya terkadang orang tua suka menilai bakat anaknya secara “lebay”, latah terlalu cepat mengatakan bahwa anaknya adalah seorang prodigy. Kemungkinan besar anak tsb memang BERBAKAT (talented), namun anak tsb bukanlah seorang prodigy. Biasanya seorang prodigy berumur sangat muda dan bukan hanya saja berbakat, namun bakatnya melebihi batas kewajaran lazimnya manusia dalam suatu bidang (special case) – alias super jenius.

PRODIGY: TO BE OR NOT TO BE
Prodigy bukanlah murni produk dari good parenting, kerja keras, disiplin, dan kondisi sosial pada suatu masa. Namun merupakan hadiah (gift) dari Sang Ilahi. Dari sekian banyak anak berbakat, mungkin hanya ada satu prodigy di dalam satu zaman. Ibarat banyaknya bintang di langit yang bersinar, namun hanya ada satu komet yang sangat spesial, yang melintas belum tentu sekali dalam 100 tahun. Lain dengan artist karbitan yang sifatnya instan dan sarat dengan pernak-pernik. Walaupun anak dilatih secara profesional dan “militer” dalam lingkungan yang musikal sejak dini. Tanpa adanya bakat, faktor genetik, keterampilan motorik, dan tingkat inteligensia yang tinggi (IQ & EQ); anak tetap saja tidak akan bisa menjadi seorang prodigy.


DEFINISI PRODIGY DALAM MUSIK
Music prodigy adalah seseorang yang mempunyai bakat musik yang luar biasa, diatas rata-rata melampaui orang pada zamannya. Umumnya istilah music prodigy ini lazim digunakan dalam ranah Musik Klasik.

Mengapa bukan Musik Pop, Rock, atau Jazz? Karena Musik Klasik mempunyai standar yang bisa diukur, dan jenjang pendidikan yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan serta diterima oleh para akademia. Jadi ada tolok ukur yang jelas. Bukan anak bisa memainkan lagu “Fuer Elise” simplified version dalam seminggu, lantas dikatakan anak tsb adalah music prodigy. Ketika anak piawai memainkan lagu dan instrumen musik dalam waktu singkat tidak membuat anak tsb menjadi music prodigy, melainkan berbakat.

Seorang music prodigy tidak hanya mahir memainkan lagu dan instrumen musik dalam waktu singkat. Namun ia bisa memainkannya dalam tingkat advanced tanpa perlu bersusah payah dalam usia yang sangat muda. Ia juga bisa mendengarkan musik dalam sekali dengar dan menuliskannya kembali dalam notasi balok. Lalu bahkan mempunyai ide untuk mengaransi dan mengkomposisi lagu, padahal tidak ada yang mengajarkan. Kalaupun ada yang mengajarkan, tidak mungkin seorang anak umur lima tahun bisa menulis sebuah simfoni, bukan? Kalau 8 bar mungkin saja, tapi kalau sinfoni itu suatu keajaiban dan kemustahilan. Dalam Musik Klasik salah satu tokoh yang menjadi ikon karena kejeniusannya dalam bermain musik dan mengkomposisi adalah Wolfgang Amadeus Mozart.


THE “LITTLE” MOZART
Kejeniusan Mozart merupakan hal yang kontroversial yang selalu dipertanyakan, bahkan hingga detik ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kejeniusan Mozart hanyalah propaganda dan ambisi dari ayahnya belaka, Leopold Mozart. Karena karir Leopold yang redup (violis, guru, dan komposer), maka ia melampiaskannya kepada Mozart. Mozart hanya dijadikan alat penghasil uang. Mana mungkin sih anak umur lima tahun bisa mengkomposisi sebuah Sonata? Apakah itu karya original dari Wolfgang atau Leopold? Banyak pendapat yang tidak setuju bahwa Mozart adalah seorang yang jenius.


Tapi jangan lupa, hidup Mozart selalu dipenuhi dengan tes. Tidak hanya sekali dan tidak hanya di depan publik, komposer terkemuka, kalangan bangsawan, namun juga di kalangan kerajaan. Semua orang penasaran dan ingin tahu kemampuan sang anak ajaib (das Wunderkind). Tesnya pun sangat sulit dan sering “mengada-ada” – mulai dari menuliskan kembali lagu yang didengarnya satu kali tanpa kesalahan sedikit pun, memainkan sinfoni dalam manuskrip yang belum pernah ia lihat sebelumnya pada piano (sight reading), melakukan beberapa improvisasi dan modulasi sebagai alternatif akhir dari lagu, hingga menutup matanya dengan kain sambil bermain harpsichord – bahkan dalam posisi terbalik.


Di zaman itu belum ada DVD, MP3 recorder, dan konser hanya diadakan beberapa kali saja. Jadi bagaimana mungkin Mozart (10 tahun) bisa menulis kembali aria yang ia dengar dalam sebuah opera berdurasi tiga jam tanpa kesalahan sedikitpun dalam sekali dengar? Yang jelas politik dan trick tidak akan bisa membantu Mozart dalam menyelesaikan semua tes itu. Mozart menulis sinfoni ke-25 nya dalam G minor ketika ia berumur 17 tahun. Jadi umur berapakah Mozart ketika ia menyelesaikan ke-24 sinfoni sebelumnya? Hmm…

Mozart juga adalah seorang violis yang handal, salah satu yang terbaik di Vienna, Austria pada masa itu. Ia juga piawai memainkan harpsichord dan piano. Bahkan ia bisa menulis Sonata untuk Basso Continuo. Ketika Anda berada dalam posisi kaum akademia yang melihat kehebatan Mozart dengan mata kepalanya sendiri, sulit untuk menyangkal bahwa Mozart bukanlah seorang prodigy. Kalau contoh diatas tidak cukup melukiskan kata prodigy atau musical genius, saya tidak tahu harus berkata apa.


BAGAIMANA JIKA ANAK SAYA BUKAN PRODIGY?
Apakah berarti ia tidak berbakat dan tidak perlu belajar piano? Sungguh pertanyaan yang aneh dan tidak relevan dengan belajar instrumen musik! Dalam dunia pendidikan - entah anak prodigy, berbakat, biasa saja, atau bahkan tidak berbakat (entah menurut standarnya siapa), seharusnya tidak menyurutkan passion anak dalam belajar instrumen musik. Tujuan anak belajar musik seharusnya bukan berarti anak harus menjadi seorang maestro, musisi, dan terkenal. Melainkan membentuk pribadi yang lebih baik, humanis, kaya (bukan dari segi materi), yang mampu mengekpresikan dirinya dan mengapresiasi seni budaya –  seni memanusiakan manusia dan membuat hidup lebih berarti.


Jangan terlalu terfokus pada bakat sang anak. Berbakat atau tidaknya anak, sudah menjadi tugas dan kewajiban orang tua untuk mendukung anak sebaik mungkin. Perkara anak nantinya ingin hidup dari musik atau meniti karier untuk menjadi seorang musisi adalah pilihan hidupnya.  Sebagai orang tua, sudah sepantasnya Anda melakukan peranan Anda agar anak mendapatkan pendidikan musik yang layak – baik secara formal maupun informal, sebagai bekal untuknya di masa depan. Secara informal, Anda bisa mendaftarkan anak untuk belajar pada guru piano dengan kualifikasi profesional (bersertifikat). Anda juga dapat memasukkan anak dalam lembaga informal seperti sekolah musik/lembaga kursus yang memiliki standard serta kurikulum internasional. Sedapat mungkin, anak juga diberi kesempatan untuk tampil dalam resital atau konser sebagai praktik hasil proses belajarnya secara real-time. Ujian musik juga bisa menjadi alternatif untuk memotivasi anak, sejauh hasilnya positif bagi perkembangan dirinya.


FENOMENA MUSIC PRODIGY DI INDONESIA
Seni merupakan suatu hal yang sulit dinilai – alias subjektif. Di Indonesia, orang tua kerap kali latah dengan istilah prodigy. Sebagian besar orang tua suka lebay. Beranggapan, apabila anaknya bisa mendengarkan musik dan menyanyikan nadanya hanya dalam sekali dengar, maka anaknya adalah seorang yang jenius dalam musik. Belum lagi dengan fenomena “gila kompetisi” yang semakin marak dan menjamur. Seolah ingin memberikan pengumuman dalam huruf besar dan dicetak tebal “MY CHILD IS A GENIUS!!!” 


Sebetulnya banyak cara kok untuk mengapresiasi bakat anak - tanpa perlu memaksa anak untuk menang kompetisi dan meraih rekor apapun. Hal yang sebaiknya TIDAK dilakukan orang tua maupun guru dalam pembelajaran musik adalah MEMBANDINGKAN ANAK yang baru saja belajar musik dengan Mozart dan ikon pianis Lang Lang. Hanya karena Mozart belajar piano pada umur 4 tahun, bukan berarti semua anak juga diharuskan untuk belajar piano pada umur 4 tahun? Apakah karena Mozart memainkan piano dalam posisi terbalik dan mata ditutup, berarti anak juga harus melakukan hal tsb? Come on, be smart! Hal ini TIDAK BISA DIGENERALISASI! Mengapa? Karena anak bukan beruang sirkus dan pada hakikatnya manusia itu unik, diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya.

Hal utama yang dibutuhkan seorang anak bukanlah piala maupun gelar, namun perhatian dan apresiasi dari orang tuanya. Sudah saatnya masyarakat menjadi kritis terhadap budaya “prodigy” dan latah NARSIS tidak ketulungan. Lalu beralih fokus kepada pendidikan musik yang berkualitas, efek musik  sebagai pengisi bathin anak, dan peran orang tua sebagai supporter terbaik anak. Supaya publik tidak LATAH dan DIBODOHI terus-menerus oleh pelaku BISNIS dalam INDUSTRI pendidikan musik.


Kalau anak bukan prodigy dan tidak berbakat, so what gitu loh? 
Bukankah ikatan antara orang tua - anak yang semakin kuat dan kemajuan anak yang positif 
bernilai 100 kali lipat lebih baik dibandingkan sebuah piala kompetisi musik?
Atau sudah terlampau buta-kah orang tua 
untuk menyadari bahwa egonya-lah yang berbicara dengan mengatasnamakan “cinta”?